Hadiah Buat Ayah
Suara jerit tangis putri bungsuku membuyarkan lamunanku. Kuseka air mataku, segera ku beranjak membuatkan susu untuk anakku. Ku gendong anakku dan kusodorkan botol susu yang dengan kehausan ia segera meminumnya.
Rumah begitu sepi. Ibu bapak mertuaku dan kedua anakku sudah tertidur pulas. Putri kecilku telah menghabiskan sebotol susunya dan rupanya ia tertidur lagi. Kutidurkan dia di box kecilnya dan kukecup keningnya perlahan. Met tidur Bidadari kecilku. Kubisikkan do’a perlahan ke telinganya, “Bismika Allahumma Ahya Wabismika Amut”.
Malam kian larut tapi tak juga aku bisa memejamkan mataku. Pikiranku melayang entah kemana. Terbayang kenangan itu yang terus membayangi langkahku. Pagi itu istriku membangunkanku untuk mengajakku shalat Subuh. Aku tidak bergeming sedikitpun, justru makin kuat menarik selimutku dan kukatakan nanti saja. Masih kudengar omelan–omelannya memarahiku, tapi tidak hiraukan, justru aku lebih kuat memeluk gulingku. Anak sulungku, Rafi, ikut–ikutan memanggiliku. Dia menarik selimutku dan kubentak dia dengan keras. Dia ketakutan berlari memeluk ibunya dan kemudian suara–suara merekapun lenyap ditelan khusu’ mereka dalam salat Shubuh. Aku tetap melanjutkan tidurku yang sempat tertunda karena rengekan mereka.
“Yah, kopinya di meja depan ya dan sarapan pagi ayah sudah aku siapkan di meja makan,” kata istriku. Aku menjawab dengan setengah hati, tapi diambang tidurku dia masih sempat menciumku sebelum berangkat mengajar. Anak–anakpun sudah berangkat ke sekolah. Jam menunjukkan Pukul 08.00 pagi. Mungkin semalam aku terlalu banyak minum sehingga kepalaku masih terasa pusing pagi ini. Handphone berdering keras. Dengan ogah–ogahan aku angkat teleponnya, dan ternyata itu suara bosku yang menanyakan jam berapa aku berangkat mengirim kayu ke Jepara. Aku harus segera bersiap bekerja untuk mengantar kayu pagi ini.
Segera aku berangkat. Aku sampai tidak sempat sarapan dan meminum kopi buatan istriku. Mending nanti saja mampir di warung langgananku, pikirku. Di tengah jalan handphoneku berdering, kulirik ternyata istriku. Agus yang duduk disampingku menyeletuk, “Mas itu Atika istrimu telpon,” katanya. “Biar saja nanti aku telpon kembali,” sahutku cuek. Empat kali istriku telpon tak kuangkat karena aku sudah terlanjur janji dengan pembeli baru yang sanggup membeli lebih tinggi daripada pembeli sebelumnya.. Sebelum jam 02.00 aku harus sudah sampai Jepara. Pikiranku hanya ingin segera sampai ke Jepara dan menjual kayu-kayu ini.
Bunyi beberapa pesan terdengar di HP-ku juga tidak kubuka. Aku fokus pada jalan yang sangat ramai tidak seperti biasanya. Di sebuah warung makan langgananku, aku berhenti memarkir mobilku. Aku segera makan dengan lahab baru kubuka HP-ku dan kulihat ada empat panggilan tak terjawab dari istriku dan 10 sms belum terbaca. Ku hanya melihat sekilas dan aku baca berbagai kekhawatirannya terhadapku. Aku ketik sms untuknya bahwa aku sudah sampai Jogja sedang beristirahat makan. Dia langsung nmembalas smsku dengan gambar–gambar lucu tanpa aku balas lagi. Aku segera melanjutkan perjalananku.
Aku sudah sampai rumah tengah malam. Kulihat istriku yang sedang hamil tua tertidur bersama kedua anakku. Aku segera keluar lagi berkumpul bersama teman–temanku untuk minum–minuman keras. Aku tidak berfikir apapun, yang ada dalam pikiranku dengan minum hati dan pikiranku menjadi begitu senang. Aku begitu sulit menghilangkan kebiasaanku, padahal istriku terus-menerus melarangku, tetapi tidak kupedulikan. Ini duniaku, pikirku.
Aku tak pedulikan istriku, walaupun hamil, dia juga sering membantuku mencari nafkah dengan berjualan baju maupun barang barang elektronik. Istriku tidak pernah gengsi untuk membantuku mencari uang untuk mencukupi kebutuhan kami. Selain itu, dia juga rajin membantu mengajar di sebuah Sekolah Dasar. Aku amat bangga mempunyai istri yang cantik, baik hati dan penyabar, walaupun aku belum bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik buatnya.
Pagi itu, istriku membangunkanku mengatakan perutnya sakit. Aku terkejut dan segera bangun, kulihat wajah istriku pucat. Kupegangi tangannya dan ia bilang sudah terlambat seminggu waktu melahirkan berbeda dengan perhitungan bidan. Kulihat kekhawatiran tampak dari wajah istriku dan aku baru merasa khawatir dengan kondisinya. Segera aku persiapkan diri untuk mengantar istriku memeriksakan kandungannya. Beserta ibu dan putraku, segera kuantar istriku menuju Dokter Spesialis kandungan. Sepanjang jalan istriku tetap ceria menceritakan betapa lucunya putrinya nanti karena hasil USG menyatakan putra ketiganya berjenis kelamin perempuan, dan itulah yang amat diharapkan semua keluarga, terutama ayahnya yang amat sangat disayanginya.
Sesampainya di tempat bersalin, dokter memeriksa istriku dan menyatakan untuk segera dioperasi. Kami berunding dan istriku tidak mau untuk dioperasi. “Aku ingin menjadi istri dan ibu yang sempurna untuk anak–anak dan suamiku,” itu jawaban darinya .Aku terus membujuknya untuk dioperasi, tetapi istriku tetap tidak mau. Aku bawa istriku ke rumah sakit dan sesuai dengan prosedur rumah sakit, istriku akhirnya berhasil melahirkan dengan normal. Tangisan pertama putriku membuat sempurna kebahagiaanku. Istriku menggendong dan menciumi putriku dengan berderai tangis.
“Ayah tolong kasih nama Bilqis buat anak kita,” celetuknya penuh kegirangan. Tiba-tiba istriku merasa pusing dan terjadi pendarahan hebat pada jalan lahir istriku. Aku berteriak. Dokter beserta suster datang memeriksa kondisi istriku. Aku berteriak menguatkan istriku dan aku dengar suara istriku melemah dan mengatakan bahwa dia tidak kuat lagi menahan sakit. Aku menangis melihat kondisi istriku. Ku memeluknya dan aku dengar sayup–sayup suara istriku berbicara pada dokter. Masih sangat jelas dalam ingatanku kata–kata yang keluar dari bibirnya. “Dokter, tolong selamatkan putri saya. Dia harus selamat, Dokter. Dia hadiah buat ayah saya, Dokter,” kata Istriku.
Aku menangis menjerit seperti kehilangan akal. Aku berteriak kepada dokter untuk bisa melakukan upaya apapun untuk bisa menyelamatkan istriku. Seperti orang kesurupan, aku menandatangani surat menyetujui operasi istriku. Ketika istriku mau dibawa ke ruang operasi, aku masih melihat sebuah senyuman di bibirnya, walaupun tubuhnya sudah bersimbah darah. Dia dengan terputus–putus masih sempat membisikkan kata–kata kepadaku. “Ayah, ini hadiah buat Ayah,” katanya perlahan.
Aku menangis semakin menjadi–jadi. Bagiku hari itu seperti kiamat buatku. Aku menjerit-jerit tanpa kendali. Ibu, ayahku, juga anakku, tak mampu menenangkan aku. Aku merasakan betapa saat itu adalah hukuman buatku karena aku terlalu sering mengabaikannya. Aku memang bukan suami yang baik buatnya. Aku memang bukan ayah yang baik buat anak–anakku. Selama ini aku begitu egois. Istriku yang begitu mencintaiku sering aku abaikan. Sekarang lihat betapa berharganya istrimu buatmu. Lihat betapa besar cinta dan pengorbanan istrimu kepadamu, namun apa yang telah kau berikan untuk istrimu. Apa?! Itu kata hatiku yang terus menyalahkan aku. Dan aku semakin menjerit ketika sayup–sayup aku dengar penjelasan dokter bahwa nyawa istriku sudah tidak bisa tertolong lagi .Aku berteriak menjerit sekencangnya dan akhirnya aku tak tahu lagi seperti apa karena aku merasa dunia gelap gulita, dan aku jatuh tak sadarkan diri.
Ketika tersadar kulihat istriku benar–benar telah pergi meninggalkaku. “Andi, kenapa kamu belum tidur hari sudah hampir pagi?” Aku terkejut setengah mati ketika aku melihat ibuku menepuk pundakku. Aku tatap wajah ibuku yang berbalut mukena habis melaksanakan salat tahajud. Kuseka air mataku yang berlinangan. Aku memeluk ibuku dan menangis sejadi–jadinya. “Sudahlah, ikhlaskan kepergiannya. Istrimu sudah berada di surga sekarang. Segera berwudhu dan shalat memohon ampun pada Allah, Nak!“ kata Ibuku. Aku mengangguk lemah, segera kuambil wudhu dan membenamkan kepedihanku pada sujud panjang dan doa–doaku.
Aku menangis dalam sujud panjangku dan betapa tidak berartinya aku buat istri dan anak–anakku. Aku belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat anak -anakku. Ketika aku tersadar istriku telah pergi meninggalkanku untuk selama–lamanya. Betapa berartinya dia dalam kehidupanku. Aku baru merasakan kerinduan akan segala celoteh–celotehnya, omelan–omelannya ketika membangunkan aku ketika salat, untuk makan, bahkan berganti pakaianpun aku masih dipilihkan oleh istriku. Sekarang betapa sepinya rumahku tanpa kehadirannya. Tapi aku harus mengikhlaskannya. Istriku sudah tenang disana. Aku janji akan merawat putri kecil kita dan anak-anak kita, dan aku akan menjadi ayah yang baik buat mereka. “Selamat jalan, Istriku, karena kau begitu berarti bagi kami. Bagi semuanya. Semoga kau tenang di sana dan kami akan selalu mencintaimu lewat doa–doa kami untukmu.”
Ngadirojo, 9 Desember 2015
by : “ UMMI AMIRA”
Rumah begitu sepi. Ibu bapak mertuaku dan kedua anakku sudah tertidur pulas. Putri kecilku telah menghabiskan sebotol susunya dan rupanya ia tertidur lagi. Kutidurkan dia di box kecilnya dan kukecup keningnya perlahan. Met tidur Bidadari kecilku. Kubisikkan do’a perlahan ke telinganya, “Bismika Allahumma Ahya Wabismika Amut”.
Malam kian larut tapi tak juga aku bisa memejamkan mataku. Pikiranku melayang entah kemana. Terbayang kenangan itu yang terus membayangi langkahku. Pagi itu istriku membangunkanku untuk mengajakku shalat Subuh. Aku tidak bergeming sedikitpun, justru makin kuat menarik selimutku dan kukatakan nanti saja. Masih kudengar omelan–omelannya memarahiku, tapi tidak hiraukan, justru aku lebih kuat memeluk gulingku. Anak sulungku, Rafi, ikut–ikutan memanggiliku. Dia menarik selimutku dan kubentak dia dengan keras. Dia ketakutan berlari memeluk ibunya dan kemudian suara–suara merekapun lenyap ditelan khusu’ mereka dalam salat Shubuh. Aku tetap melanjutkan tidurku yang sempat tertunda karena rengekan mereka.
“Yah, kopinya di meja depan ya dan sarapan pagi ayah sudah aku siapkan di meja makan,” kata istriku. Aku menjawab dengan setengah hati, tapi diambang tidurku dia masih sempat menciumku sebelum berangkat mengajar. Anak–anakpun sudah berangkat ke sekolah. Jam menunjukkan Pukul 08.00 pagi. Mungkin semalam aku terlalu banyak minum sehingga kepalaku masih terasa pusing pagi ini. Handphone berdering keras. Dengan ogah–ogahan aku angkat teleponnya, dan ternyata itu suara bosku yang menanyakan jam berapa aku berangkat mengirim kayu ke Jepara. Aku harus segera bersiap bekerja untuk mengantar kayu pagi ini.
Segera aku berangkat. Aku sampai tidak sempat sarapan dan meminum kopi buatan istriku. Mending nanti saja mampir di warung langgananku, pikirku. Di tengah jalan handphoneku berdering, kulirik ternyata istriku. Agus yang duduk disampingku menyeletuk, “Mas itu Atika istrimu telpon,” katanya. “Biar saja nanti aku telpon kembali,” sahutku cuek. Empat kali istriku telpon tak kuangkat karena aku sudah terlanjur janji dengan pembeli baru yang sanggup membeli lebih tinggi daripada pembeli sebelumnya.. Sebelum jam 02.00 aku harus sudah sampai Jepara. Pikiranku hanya ingin segera sampai ke Jepara dan menjual kayu-kayu ini.
Bunyi beberapa pesan terdengar di HP-ku juga tidak kubuka. Aku fokus pada jalan yang sangat ramai tidak seperti biasanya. Di sebuah warung makan langgananku, aku berhenti memarkir mobilku. Aku segera makan dengan lahab baru kubuka HP-ku dan kulihat ada empat panggilan tak terjawab dari istriku dan 10 sms belum terbaca. Ku hanya melihat sekilas dan aku baca berbagai kekhawatirannya terhadapku. Aku ketik sms untuknya bahwa aku sudah sampai Jogja sedang beristirahat makan. Dia langsung nmembalas smsku dengan gambar–gambar lucu tanpa aku balas lagi. Aku segera melanjutkan perjalananku.
Aku sudah sampai rumah tengah malam. Kulihat istriku yang sedang hamil tua tertidur bersama kedua anakku. Aku segera keluar lagi berkumpul bersama teman–temanku untuk minum–minuman keras. Aku tidak berfikir apapun, yang ada dalam pikiranku dengan minum hati dan pikiranku menjadi begitu senang. Aku begitu sulit menghilangkan kebiasaanku, padahal istriku terus-menerus melarangku, tetapi tidak kupedulikan. Ini duniaku, pikirku.
Aku tak pedulikan istriku, walaupun hamil, dia juga sering membantuku mencari nafkah dengan berjualan baju maupun barang barang elektronik. Istriku tidak pernah gengsi untuk membantuku mencari uang untuk mencukupi kebutuhan kami. Selain itu, dia juga rajin membantu mengajar di sebuah Sekolah Dasar. Aku amat bangga mempunyai istri yang cantik, baik hati dan penyabar, walaupun aku belum bisa menjadi kepala rumah tangga yang baik buatnya.
Pagi itu, istriku membangunkanku mengatakan perutnya sakit. Aku terkejut dan segera bangun, kulihat wajah istriku pucat. Kupegangi tangannya dan ia bilang sudah terlambat seminggu waktu melahirkan berbeda dengan perhitungan bidan. Kulihat kekhawatiran tampak dari wajah istriku dan aku baru merasa khawatir dengan kondisinya. Segera aku persiapkan diri untuk mengantar istriku memeriksakan kandungannya. Beserta ibu dan putraku, segera kuantar istriku menuju Dokter Spesialis kandungan. Sepanjang jalan istriku tetap ceria menceritakan betapa lucunya putrinya nanti karena hasil USG menyatakan putra ketiganya berjenis kelamin perempuan, dan itulah yang amat diharapkan semua keluarga, terutama ayahnya yang amat sangat disayanginya.
Sesampainya di tempat bersalin, dokter memeriksa istriku dan menyatakan untuk segera dioperasi. Kami berunding dan istriku tidak mau untuk dioperasi. “Aku ingin menjadi istri dan ibu yang sempurna untuk anak–anak dan suamiku,” itu jawaban darinya .Aku terus membujuknya untuk dioperasi, tetapi istriku tetap tidak mau. Aku bawa istriku ke rumah sakit dan sesuai dengan prosedur rumah sakit, istriku akhirnya berhasil melahirkan dengan normal. Tangisan pertama putriku membuat sempurna kebahagiaanku. Istriku menggendong dan menciumi putriku dengan berderai tangis.
“Ayah tolong kasih nama Bilqis buat anak kita,” celetuknya penuh kegirangan. Tiba-tiba istriku merasa pusing dan terjadi pendarahan hebat pada jalan lahir istriku. Aku berteriak. Dokter beserta suster datang memeriksa kondisi istriku. Aku berteriak menguatkan istriku dan aku dengar suara istriku melemah dan mengatakan bahwa dia tidak kuat lagi menahan sakit. Aku menangis melihat kondisi istriku. Ku memeluknya dan aku dengar sayup–sayup suara istriku berbicara pada dokter. Masih sangat jelas dalam ingatanku kata–kata yang keluar dari bibirnya. “Dokter, tolong selamatkan putri saya. Dia harus selamat, Dokter. Dia hadiah buat ayah saya, Dokter,” kata Istriku.
Aku menangis menjerit seperti kehilangan akal. Aku berteriak kepada dokter untuk bisa melakukan upaya apapun untuk bisa menyelamatkan istriku. Seperti orang kesurupan, aku menandatangani surat menyetujui operasi istriku. Ketika istriku mau dibawa ke ruang operasi, aku masih melihat sebuah senyuman di bibirnya, walaupun tubuhnya sudah bersimbah darah. Dia dengan terputus–putus masih sempat membisikkan kata–kata kepadaku. “Ayah, ini hadiah buat Ayah,” katanya perlahan.
Aku menangis semakin menjadi–jadi. Bagiku hari itu seperti kiamat buatku. Aku menjerit-jerit tanpa kendali. Ibu, ayahku, juga anakku, tak mampu menenangkan aku. Aku merasakan betapa saat itu adalah hukuman buatku karena aku terlalu sering mengabaikannya. Aku memang bukan suami yang baik buatnya. Aku memang bukan ayah yang baik buat anak–anakku. Selama ini aku begitu egois. Istriku yang begitu mencintaiku sering aku abaikan. Sekarang lihat betapa berharganya istrimu buatmu. Lihat betapa besar cinta dan pengorbanan istrimu kepadamu, namun apa yang telah kau berikan untuk istrimu. Apa?! Itu kata hatiku yang terus menyalahkan aku. Dan aku semakin menjerit ketika sayup–sayup aku dengar penjelasan dokter bahwa nyawa istriku sudah tidak bisa tertolong lagi .Aku berteriak menjerit sekencangnya dan akhirnya aku tak tahu lagi seperti apa karena aku merasa dunia gelap gulita, dan aku jatuh tak sadarkan diri.
Ketika tersadar kulihat istriku benar–benar telah pergi meninggalkaku. “Andi, kenapa kamu belum tidur hari sudah hampir pagi?” Aku terkejut setengah mati ketika aku melihat ibuku menepuk pundakku. Aku tatap wajah ibuku yang berbalut mukena habis melaksanakan salat tahajud. Kuseka air mataku yang berlinangan. Aku memeluk ibuku dan menangis sejadi–jadinya. “Sudahlah, ikhlaskan kepergiannya. Istrimu sudah berada di surga sekarang. Segera berwudhu dan shalat memohon ampun pada Allah, Nak!“ kata Ibuku. Aku mengangguk lemah, segera kuambil wudhu dan membenamkan kepedihanku pada sujud panjang dan doa–doaku.
Aku menangis dalam sujud panjangku dan betapa tidak berartinya aku buat istri dan anak–anakku. Aku belum bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat anak -anakku. Ketika aku tersadar istriku telah pergi meninggalkanku untuk selama–lamanya. Betapa berartinya dia dalam kehidupanku. Aku baru merasakan kerinduan akan segala celoteh–celotehnya, omelan–omelannya ketika membangunkan aku ketika salat, untuk makan, bahkan berganti pakaianpun aku masih dipilihkan oleh istriku. Sekarang betapa sepinya rumahku tanpa kehadirannya. Tapi aku harus mengikhlaskannya. Istriku sudah tenang disana. Aku janji akan merawat putri kecil kita dan anak-anak kita, dan aku akan menjadi ayah yang baik buat mereka. “Selamat jalan, Istriku, karena kau begitu berarti bagi kami. Bagi semuanya. Semoga kau tenang di sana dan kami akan selalu mencintaimu lewat doa–doa kami untukmu.”
Ngadirojo, 9 Desember 2015
by : “ UMMI AMIRA”
Post a Comment for "Hadiah Buat Ayah"